27 August 2008

Lingkungan Permukiman

Lingkungan, menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1994), ialah semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Lingkungan hidup, menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, ialah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Menurut Tandjung (2003), lingkungan hidup disusun oleh sumberdaya alam non hayati atau abiotic, sumberdaya alam hayati atau biotic, dan sumberdaya manusia bersama sumberdaya buatan yang digabung menjadi sumberdaya kultural. Dengan demikian lingkungan hidup disusun oleh tiga komponen, yaitu (Tandjung 2003):
  1. abiotic environment atau lingkungan fisik yang terdiri dari unsur-unsur air, udara, lahan, dan energi serta bahan mineral yang terkandung di dalamnya,
  2. biotic environment atau lingkungan hayati, yaitu unsur-unsur hewan, tumbuhan dan margasatwa lainnya serta bahan baku hayati industri, dan
  3. cultural environment atau lingkungan kultural SOSEKBUD, yang unsur-unsurnya disebut sistem-sistem sosial, ekonomi dan budaya serta kesejahteraan.
Antara ketiga komponen lingkungan tersebut terdapat interaksi dan hubungan timbal balik yang dinamis. Tanpa interaksi ketiganya, tidak terjadi lingkungan hidup.

Komponen Lingkungan Hidup Saling Bersentuhan
(Sumber: Tandjung 2003)

Permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup, yakni lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992). Pengertian permukiman secara luas mempunyai arti perihal tempat tinggal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat tinggal dan secara sempit berarti daerah tempat tinggal atau bangunan tempat tinggal (Yunus 1987).

Satuan lingkungan permukiman, menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman Pasal 1 butir (4), ialah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Satuan lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang tertentu, yang dilengkapi dengan sistem prasarana, sarana lingkungan, dan tempat kerja terbatas dan dengan penataan ruang yang terencana dan teratur sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal.

Supriyanta (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor lingkungan memberikan pengaruh bagi penghuni dalam penentuan lokasi perumahan. Komponen lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap penghuni dalam memilih lokasi perumahan adalah ketersediaan air bersih, keamanan lingkungan, servis, tingkat ketenangan suara, prasarana jalan, kebersihan udara, dan sarana transportasi. Komponen lingkungan yang cukup berpengaruh terhadap penghuni dalam memilih lokasi perumahan adalah harga rumah, utilitas, fasilitas lingkungan, nilai rumah, hukum dan peraturan setempat, serta keberadaan tumbuh-tumbuhan. Komponen lingkungan yang kurang berpengaruh terhadap penghuni dalam memilih lokasi perumahan adalah hubungan kekeluargaan, pemandangan alam, kondisi fisiografis, daya tarik kebudayaan, status sosial, dan keberadaan hewan.

Daftar Pustaka
  1. Supriyanta. 2002. Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Penghuni Memilih Lokasi Lingkungan Perumahan Baru di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Yogyakarta. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
  2. Tandjung, S.D. 2003. Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Laboratorium Ekologi Fakultas Biologi UGM
  3. Yunus, H.S. 1987. Geografi Permukiman dan Permasalahan Permukiman di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM

Permasalahan Permukiman Perkotaan

Menurut Kirmanto (2002), isu-isu perkembangan permukiman yang ada pada saat ini adalah (1) perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha; (2) konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada suatu kelompok dalam pembangunan perumahan dan permukiman; (3) alokasi tanah dan ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan perumahan yang cenderung mempengaruhi tata ruang sehingga berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan lain dan kondisi ekologis daerah yang bersangkutan; (4) terjadi masalah lingkungan yang serius di daerah yang mengalami tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi sumber daya alam; dan (5) komunitas lokal tersisih akibat orientasi pembangunan yang terfokus pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru, berorientasi ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan menguntungkan.

Kirmanto (2002) juga menyebutkankan isu-isu perkembangan pembangunan permukiman yang akan datang ialah (1) urbanisasi di daerah tumbuh cepat sebagai tantangan bagi pemerintah untuk secara positif berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (2) perkembangan tak terkendali daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh; dan (3) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global.

Pengertian kota secara sistematis dapat dikelompokkan menjadi enam tinjauan, yakni dari segi (1) yuridis administratif, (2) morfologikal, (3) jumlah penduduk, (4) kepadatan penduduk, (5) jumlah penduduk plus kriteria tertentu, dan (6) fungsi kota dalam suatu organic region (Yunus 1989). Menurut Bintarto (1983), kota dari segi geografi dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis, atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan meterialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.

Menurut Yunus (1987), permasalahan permukiman perkotaan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah. Bintarto (1983) melihat kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup kota dari dua segi, yakni (1) dari segi fisis, berupa gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam, seperti air yang sudah tercemar dan udara yang sudah tercemar, serta (2) dari segi masyarakat atau segi sosial, berupa gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri dan dapat menimbulkan kehidupan yang tidak tenang dan tidak tenteram. Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan material bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal, serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam ini mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan seringkali menumbuhkan pemukiman kumuh (Keman 2005).

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman Pasal 3 menyatakan bahwa penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 selanjutnya merumuskan tujuan penataan perumahan dan permukiman, yaitu untuk (1) memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat; (2) mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur; (3) memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional; dan (4) menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang- bidang lain.

Daftar Pustaka
  1. Bintarto, R. 1983. Interaksi Desa-Kota. Jakarta: Ghalia Indonesia
  2. Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2 (1): 29-42. Surabaya: Universitas Airlangga
  3. Kirmanto, D. 2002. Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan Strategis dalam Pencegahan Banjir di Perkotaan [internet], diperoleh dari [diakses 20 November 2007]
  4. Yunus, H.S. 1987. Geografi Permukiman dan Permasalahan Permukiman di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM
  5. Yunus, H.S. 1989. Subject Matter dan Metode Penelitian Geografi Permukiman Kota. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM

Kualitas Lingkungan Permukiman

Sumunar (2000) berhasil mengklasifikasi lingkungan permukiman di Kota Yogyakarta dalam tiga kelas, yakni (1) kelas permukiman dengan kualitas baik, (2) kelas permukiman dengan kualitas sedang, dan (3) kelas permukiman dengan kualitas buruk. Lebih lanjut Ia menyatakan kondisi sosial ekonomi penghuni berpengaruh terhadap kualitas lingkungan permukiman. Variabel-variabel kondisi sosial ekonomi seperti tahun sukses pendidikan, penghasilan dan besarnya rumah tangga, menunjukkan adanya korelasi dengan kondisi kualitas lingkungan permukiman. Lingkungan permukiman dengan kualitas buruk terutama terdapat di daerah pusat Kota Yogyakarta, sepanjang sungai dan di sekitar jalur kereta api. Biasanya permukiman ini dihuni oleh para penglaju atau commuter yang setiap waktu tertentu pulang kampung.

Hasil penelitian Sumunar (2000) sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Marwasta (2001). Marwasta (2001) menyatakan penambahan agihan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta umumnya terjadi pada lahan permukiman di sekitar badan sungai, yakni Sungai Winongo, Sungai Code dan Sungai Gajahwong, meskipun terdapat juga agihan yang berasosiasi dengan jalur rel kereta api dalam luasan yang relatif kecil. Penelitian Marwasta (2001) juga menunjukan proses perkembangan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta cenderung berlangsung lambat dan terus menerus. Proses perkembangan permukiman kumuh ini lebih didominasi oleh proses pemadatan bangunan rumah dan proses penuaan bangunan rumah mukim, yang keduanya merupakan penyebab terjadinya deteorisasi lingkungan permukiman.

Penelitian lain tentang kualitas lingkungan permukiman dilakukan oleh Yusuf (2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa satuan lingkungan permukiman kepadatan rapat tidak teratur cenderung memiliki kualitas lingkungan permukiman jelek, sedangkan satuan lingkungan permukiman kepadatan jarang teratur memiliki kualitas lingkungan permukiman baik. Keadaan ini membuktikan bahwa faktor kepadatan dan keteraturan bangunan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan permukiman.

Permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya bila memiliki kelengkapan dasar fisik lingkungan berupa prasarana lingkungan (Pasal 1 Butir 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992). Dalam bagian penjelasan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, sarana dasar yang utama bagi berfungsinya suatu lingkungan permukiman ialah (1) jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, mencegah perambatan kebakaran serta untuk menciptakan ruang dan bangunan yang teratur; (2) jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah untuk kesehatan lingkungan; dan (3) jaringan saluran air hujan untuk pengatusan (drainase) dan pencegahan banjir setempat. Dalam keadaan tidak terdapat air tanah sebagai sumber air bersih, jaringan air bersih merupakan sarana dasar.

Selain prasarana lingkungan, permukiman juga memerlukan sarana lingkungan. Sarana lingkungan diperlukan sebagai fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya (Pasal 1 Butir 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992). Fasilitas penunjang dapat meliputi aspek ekonomi yang antara lain berupa bangunan perniagaan atau perbelanjaan yang tidak mencemari lingkungan, sedangkan fasilitas penunjang yang meliputi aspek sosial budaya, antara lain berupa bangunan pelayanan umum dan pemerintahan, pendidikan dan kesehatan, peribadatan, rekreasi dan olah raga, pemakaman, dan pertamanan.

Permukiman juga memerlukan utilitas umum sebagai sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan (Pasal 1 Butir 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992). Utilitas umum meliputi antara lain jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan transportasi, dan pemadam kebakaran. Utilitas umum membutuhkan pengelolaan secara berkelanjutan dan profesional oleh badan usaha agar dapat memberikan pelayanan yang memadai kepada masyarakat.

Daftar Pustaka
  1. Marwasta, D. 2001. Perkembangan Permukiman Kumuh di Kota Yogyakarta Tahun 1970-2000. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
  2. Sumunar, D.R.S. 1997. Kajian Kualitas Lingkungan dan Kondisi Sosial Ekonomi Penghuni di Kota Yogyakarta dengan Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
  3. Yusuf, A.A. 2005. Kajian Kualitas Lingkungan Permukiman Kota di Kelurahan Kiduldalem dan Bandulan Kota Malang. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta